JAKARTA, balipuspanews.com- Keputusan pemerintah menerapkan Pembelajaran Tatap Muka (PTM) yang akan dimulai pada Januari 2021 mendatang maupun belajar daring selama pandemi Covid-19 ini merupakan keputusan yang tidak bisa disalahkan. Karena sebenarnya keputusan tersebut sangat sulit bagi pemerintah, pihak sekolah dan orang tua murid.
“Kita saat ini memasuki darurat pendidikan, baik secara kualitas maupun kuantitas, sehingga proses pendidikan tersebut tak bisa berjalan secara maksimal. Ditambah lagi kesulitan ekonomi, sehingga semuanya harus saling mengontrol dan bertanggungjawab,” kata Ketua Komisi X Syaiful Huda dalam diskusi bertema “Pro-Kontra Sekolah Tatap Muka Di Tengah Pandemi” di Gedung DPR RI, Kamis (3/12/2020).
Diskusi juga menghadirkan pembicara Sekjen Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Prof. Ainun Na’im, Ketua PGRI Prov DKI Jakarta Dr. Adi Dasmin, Ismet Iskandar (Kepala Sekolah SDI Cikal Cendikia), serta Psikolog, Erfianne Suryani Cicilia.
Lebih lanjut Syaiful Huda mengatakan situasi pembelajaran tatap muka saat ini sesulit penanganan lonjakan Covid-19 itu sendiri. DPR dan Kemendikbud melalui SKB 4 Menteri (Kemendikbud, bersama Kementerian Agama, Kementerian Kesehatan dan Kementerian Dalam Negeri) sepakat membuka PTM di masa pandemi.
“Itu keputusan yang sulit,” kata Syaiful.
Pemerintah pun sudah memberikan subsidi kuota internet untuk siswa, guru termasuk mahasiswa dan dosen sebesar 37 juta peserta didik dimaksud. Hanya saja harus diakui subsidi itu belum memberi daya ungkit bagi pelaksanaan pembelajaran jarak jauh (PJJ) secara maksimal.
“Itu hanya menjangkau 50 persen dari kebutuhan,” tambah Syaiful.
Bersamaan itu pula dengan PTM pada Januari nanti, survei Bank Dunia menyebutkan bahwa yang siap PTM hanya 50 persen sekolah. “Tak semua sekolah siap PTM. Di sisi lain sudah banyak anak yang tak mau sekolah lagi, karena membantu orangtuanya bekerja. Kalau ini dibiarkan membahayakan masa depan mereka. Jadi, jangan sampai anak-anak menolak belajar dan memilih kerja,” kata Syaiful.
Kendati demikian, SKB 4 menteri tersebut menurut Syaiful skemanya tidak mewajibkan sekolah-sekolah dilakukan secara PTM. Karena itu, mesti ada izin dari Pemda, Diknas setempat, sekolah, dan orangtua.
“Kalau terbukti sekolah itu tidak siap, maka tidak wajib melakukan PTM,” tegasnya.
Sementara itu Sekjen Kemendikbud Ainun Na’im mengatakan poin pentingnya dari SKB 4 Menteri tersebut menyadari dimana PJJ itu tak bisa menggantikan fungsi guru di sekolah, sekaligus mempengaruhi kualifikasi anak di masa depan.
“Kurikulum sudah disederhanakan sesuai dengan perkembangan pandemi. Sekolah harus isi data monitoring, ada kompetisi seni, sains, olahraga, dan kreatifitas lainnya secara daring. Jadi, pengawasan dan evaluasi itu tanggung jawab semuanya,” ungkapnya.
Penulis : Hardianto
Editor : Oka Suryawan