JAKARTA, balipuspanews.com – Hasil telaah Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI selama beberapa tahun hingga pada titik kesimpulan bahwa penyimpangan arah kehidupan berbangsa dan bernegara, bermula dari perubahan atau amandemen konstitusi UUD NRI 1945 yang dilakukan di era reformasi tepatnya sejak kurun waktu empat tahun (amandemen UUD NRI 1945 keempat) dimulai di tahun 1999 hingga berakhir pada 2002.
Meski DPD lahir dari buah reformasi tepatnya melalui amandemen ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) ditandai dengan perubahan sistem perwakilan dan parlemen di Indonesia dari sistem unikameral menjadi sistem bikameral.
Namun, di era kepemimpinan Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattaliti, DPD RI saat ini berani bersuara tentang kekeliruan yang telah dilakukan amandemen UUD NRI 1945 selama empat kali perubahan itu.
Keberanian DPD RI mengoreksi hasil amandemen UUD NRI 1945 yang sudah dilakukan selama empat kali itu tertuang dalam “Lima Proposal Kenegaraan DPD RI”.
Di forum terhormat dalam Sidang Tahunan MPR yang dihelat tiap tanggal 16 Agustus dan dihadiri semua pimpinan lembaga tinggi negara termasuk Presiden RI Joko Widodo, LaNyalla menyampaikan Lima Proposal Kenegaraan DPD RI yaitu:
1). Mengembalikan MPR sebagai Lembaga Tertinggi Negara, sebagai sebuah sistem demokrasi yang lengkap dan berkecukupan, yang tidak hanya di-isi oleh mereka yang dipilih melalui pemilu, tetapi juga di-isi oleh utusan-utusan komponen masyarakat secara utuh, tanpa ada yang ditinggalkan.
2). Membuka peluang anggota DPR berasal dari peserta pemilu unsur perseorangan atau non-partisan. Sehingga anggota DPR tidak hanya di-isi dari peserta pemilu dari unsur anggota partai politik saja. Hal ini sebagai bagian dari memastikan bahwa proses pembentukan Undang-Undang yang dilakukan DPR bersama Presiden, tidak didominasi oleh keterwakilan partai politik saja. Tetapi juga secara utuh dibahas juga oleh perwakilan penduduk daerah yang berbasis provinsi. Sehingga anggota DPD RI, yang juga dipilih melalui Pemilu Legislatif, berada di dalam satu kamar di DPR RI, sebagai bagian dari pembentuk Undang-Undang.
3). Memastikan Utusan Daerah dan Utusan Golongan diisi melalui mekanisme utusan dari bawah. Bukan ditunjuk oleh presiden, atau dipilih DPRD seperti yang terjadi di Era Orde Baru. Dengan komposisi Utusan Daerah yang berbasis sejarah Negara-negara lama dan Bangsa-bangsa lama di kepulauan Nusantara, yaitu raja dan sultan Nusantara, serta suku dan penduduk asli Nusantara. Dan Utusan Golongan yang bersumber dari Organisasi Sosial Masyarakat dan Organisasi Profesi yang memiliki sejarah dan bobot kontribusi bagi pemajuan Ideologi, Ekonomi, Sosial, Budaya, Pertahanan Keamanan dan Agama bagi Indonesia.
4). Memberikan wewenang untuk pemberian pendapat kepada Utusan Daerah dan Utusan Golongan terhadap materi Rancangan Undang-Undang yang dibentuk oleh DPR dan Presiden, sehingga terjadi mekanisme keterlibatan publik yang utuh dalam pembahasan Undang-Undang di DPR.
5). Menempatkan secara tepat tugas, peran dan fungsi Lembaga Negara yang sudah dibentuk atau sudah ada di era Reformasi, seperti Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial dengan tolok ukur penguatan sistem Demokrasi Pancasila.
Prinsip Equality
Dari lima proposal yang ada, proposal kedua bisa memantik perdebatan publik atas gagasan DPD itu. Yaitu hadirnya anggota DPR RI dari unsur perseorangan atau dari jalur independen.
Apabila DPD nantinya berada dalam satu kamar dengan DPR, maka sistem bikameral yang diusung pada sistem perwakilan dalam kelembagaan parlemen tetap ada, karena unsur Utusan Golongan dan Utusan Daerah berada dalam kamar berbeda.
Argumentasi Anggota DPD RI Fachrul Razi tentang pentingnya Anggota DPR RI dari unsur perseorangan (jalur independen) sangat masuk akal.
Menurutnya, pertimbangan ini bukan didasari keinginan orang perorangan tetapi untuk mendudukkan bagaimana seharusnya konstitusi dijalankan secara benar dan mewujudkan asas kesetaraan (equality) dapat ditegakkan.
Unsur perseorangan dalam kamar DPR RI diyakini sebagai cara efektif yang mampu menghentikan penyimpangan dari sistem keterwakilan dalam konstitusi yang dinilai telah menyalahi upaya mewujudkan kedaulatan rakyat sebagai pemegang kekuasaan sesungguhnya.
Karena faktanya, tidak ada asas kesetaraan atau equality antara DPD dengan DPR. Representasi kedaulatan rakyat yang besar kepada anggota DPD dalam sistem keterwakilan, telah benar-benar dibiaskan.
Hasil Pemilu sebagai tolok ukurnya telah menunjukkan bahwa keterwakilan anggota DPD lebih kuat dibanding anggota DPR. Rata-rata perolehan suara pemilih anggota DPD bisa mencapai tiga hingga lima kali dibanding jumlah perolehan suara anggota DPR RI.
Tetapi dalam praktiknya ketika masuk ke dalam struktur sistem ketatanegaraan, DPD justru hanya diposisikan seperti fraksi atau hanya menjadi bagian dari DPR dalam menjalankan fungsi-fungsi kedewanan yaitu fungsi legislasi (membuat undang-undang), fungsi pengawasan (melakukan pengawasan) dan fungsi budgeting (menyusun anggaran).
Dukungan besar pemilih kepada anggota DPD benar-benar dinafikan dan tidak menjadi pertimbangan utama menjadikan DPD secara kelembagaan lebih tinggi dari DPR atau minimal sama kedudukannya dengan DPR.
Alih-alih ketimpangan itu semakin nyata, karena kewenangan besar kepada fraksi-fraksi DPR RI sebagai kepanjangantangan partai politik telah dibiaskan. Semua keputusan fraksi-fraksi di DPR telah didikte dan ditentukan oleh parpol. Semua selesai oleh keputusan partai.
Faktanya hari ini, DPD dikuasai oleh DPR. Sehingga MPR dan DPR RI dikuasai oleh partai politik. Sementara partai politik dikuasai oleh pemilik partai politik. Akibat dari penyimpangan kedaulatan rakyat dengan mengatasnamakan konstitusi itu menciptakan oligarki kekuasaan dari para pemilik partai.
Bila proposal kedua kenegaraan DPD RI itu bisa diwujudkan, maka proses check and balances antara lembaga-lembaga negara, antara DPR sebagai pemegang kekuasaan legislatif dengan pemerintah di ranah eksekutif dengan prinsip equality sangat mungkin terjadi.
Anggota DPR RI dari unsur perseorangan bukanlah barang baru. Bahkan di sejumlah negara-negara Eropa telah mengadopsinya. Sebut saja seperti Jerman, Yunani, Perancis, Denmark dan negara-negara maju lainnya.
Di Indonesia pun sebenarnya sistem ini pernah diterapkan. Pada Pemilu pertama tahun 1955. Kala itu, pemilu digunakan untuk memilih anggota DPR dan memilih anggota Dewan Konstituante yang terdiri dari berbagai unsur. Tugas Dewan Konstituante merancang dan membuat Undang Undang Dasar baru menggantikan UUD Sementara Tahun 1950.
Proposal Kenegaraan DPD RI lainnya yang juga dirumuskan DPD RI adalah mengenai kehadiran unsur Utusan Golongan (UG) dan Utusan Daerah (UD) dalam formasi di MPR RI. Sistem perwakilan di MPR RI nanti dirancang oleh DPD seperti MPR RI sebelum dilakukannya amandemen UUD NRI 1945.
Yaitu MPR akan diposisikan kembali sebagai lembaga tertinggi negara. Dua unsur ini dinilai DPR penting dihadirkan karena sejarah telah mencatat bahwa andil kerajaan-kerajaan yang tersebar di banyak daerah telah menjadi bagian penting dalam proses pembentukan negara Indonesia.
Begitu juga unsur Utusan Golongan yang mewakili beragam kelompok yang ada di nusantara. UG akan menjadi wadah bagi perwakilan kelompok yang ada di masyarakat seperti kelompok organisasi masyarakat (ormas), kelompok pemuda, profesi dan lainnya.
Ketika semua unsur ini yaitu Utusan Golongan, Utusan Daerah, ditambah DPR RI yang terdiri dari unsur partai politik dan unsur non parpol perseorangan, maka diyakini sistem perwakilan dalam ketatanegaraan kita akan semakin kuat.
Uji Publik
Salah satu kendala mewujudkan cita-cita dari DPD RI ini adalah bermacam syarat yang harus dipenuhi dan dilalui untuk mengoreksi hasil amandemen UUD NRI 1945 yang sudah dilakukan sebanyak empat kali.
Karena mengoreksi konstitusi maka harus mendapat persetujuan para politisi di DPR. Jumlah anggota MPR RI hasil Pemilu 2019 saat ini sebanyak 711, terdiri dari 136 anggota DPD dan 575 anggota DPR RI.
Suatu yang dinilai amat sulit untuk meminta kerelaan anggota DPR RI menggelar Sidang Paripurna MPR dengan agenda menyetujui 5 Proposal Kenegaraan DPD RI.
Maka, jalan terbaik saat ini yang bisa dilakukan DPD adalah melakukan uji publik, meyakinkan dan menggerakkan masyarakat di seluruh Indonesia bahwa proposal yang dirumuskan DPD RI ini memang semata bertujuan untuk memperbaiki kehidupan berbangsa dan bernegara.
Anggota DPD RI Bustami Zainudin berharap uji publik dilakukan sebagai petunjuk dan pembuktian bahwa hasil amandemen UUD NRI 1945 telah menyesatkan dan harus dikoreksi. Dengan uji publik maka kesesatan itu diuji kepada publik dengan berlandaskan hasil kajian teori akademis dan fakta di lapangan.
Untuk itu, Bustomi dan semua pimpinan serta anggota DPD berharap ada dukungan semua pihak termasuk juga media massa untuk terus menggaungkan dan menyadarkan masyarakat tentang pentingnya 5 Proposal Kenegaraan DPD RI untuk menyelamatkan Indonesia dari sesat berkonstitusi.
Penulis : Hardianto
Editor : Oka Suryawan