JAKARTA, balipuspanews.com – Kekerasan seksual terhadap perempuan merupakan pelanggaran hak asasi manusia paling banyak terjadi. Sekitar 1 dari 3 perempuan pernah mengalami kekerasan fisik dalam hidup mereka, biasanya hal tersebut dilakukan oleh pasangan mereka.
Bentuknya beragam antara lain kekerasan dari pasangan, kekerasan dan pelecehan seksual, perdagangan manusia, mutilasi alat kelamin perempuan dan pernikahan anak di bawah umur.
Ketua Presidium Kaukus Perempuan Parlemen, Diah Pitaloka berharap Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan perlunya sebuah gerakan sosial yang bisa mengubah posisi perempuan. Selain itu, pentingnya juga mendorongnya dari sisi regulasi dan penegakan hukum.
“Dan kenapa berharap di DPR, tepat sekali, karena perjuangan masyarakat ini tidak menjadi kekerasan yang berbalas kekerasan, tapi harus masuk dalam agenda legislatif di lembaga Dewan Perwakilan Rakyat untuk diperjuangkan menjadi produk hukum,” ucap Diah Pitaloka dalam Diskusi Media DPR RI bertema ‘Stop Kekerasan Seksual di Sekitar Kita’ di Operation Room, Gedung Nusantara, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Jumat (26/11/2021).
Menurut Anggota DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan ini, keberpihakan atau afirmasi terhadap perempuan masih dalam kehidupan berbangsa dan bernegara masih harus mengendepankan hukum dalam melakukan perubahan.
“Saya ingin menggarisbawahi titik ini kalau undang-undang ini tidak jadi disahkan atau gagal masa kita bagaimana gitu nasib korban-korban atau kasus-kasus kekerasan seksual itu harus direspon dan respon yang terbaik dengan melahirkan produk hukum,” tegas Dia Pitaloka yang yang juga Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI.
Ketua Panitia Kerja RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) Willy Aditya mengatakan kehadiran UU TPKS sangat mendesak karena UU yang ada seperti KUHP, UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PRT), UU Tindak Pidana Perdagangan Orang, UU Anti Pornografi dan lainnya masih belum cukup untuk menjadi payung hukum dalam melindungi tindak kekerasan seksual terhadap perempuan.
Ada dua hal penting mengapa RUU TPKS tetap harus segera disahkan dan diberlakukan. Pertama adalah bagaimana perempuan selaku korban bisa mendapatkan keadilan dan perlindungan.
“Kedua bagaimana aparat penegak hukum polisi dan jaksa khususnya memiliki legal standing dalam menindak,” ujarnya.
Willy mengakui masyarakat Indonesia masih banyak berpandangan bahwa seksualitas merupakan ranah dari ruang privasi. Oleh karena itu, RUU ini akan fokus pada pemisahan kekerasan seksual antara ruang publik dengan ruang private.
“Yang mau kita atur adalah ruang publiknya,” ujarnya.
Peneliti Institut Sarinah, Luky Sandra Amalia mengatakan berkaitan dengan Pancasila sebagai pedoman hidup bernegara, maka harus pengamalannya harus runut seuai dengan 5 Sila dalam Pancasila.
“Karena kita tidak bisa mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia apabila belum bisa mewujudkan kemanusian yang adil dan beradab,” sebut Amalia.
Amalia mengingatkan, untuk mencegah dan menghentikan kekerasan bukan melawannya dengan cara kekerasan pula. Tetapi justru menjadi kaum laki-laki sebagai sekutu.
“Kita bisa mengubah mereka dari power abuser menjadi challenge maker maka diperlukan hadirnya laki-laki dalam proses lahirnya UU ini. Dan saya berharap media bisa bantu blow up sehingga bisa mendorong teman-teman legislatif untuk segera mengesahkan RUU TPKS,” pungkas Amalia.
Senada, Sekretaris Lakpesdam PBNU KH. Marzuki Wahid mendorong upaya mencegah dan menghentikan kekerasan seksual terhadap perempuan melalui perangkat regulasi atau Undang-Undang.
“Karena itu tidak ada cara lain untuk menggantikan ini kecuali dengan regulasi,” tegas Marzuki.
Selain UU, ia juga mendorong lembaga keagamaan untuk juga membuat keputusan dalam kapasitasnya sebagai lemabag perwakilan umat.
“Kalau DPR tentu saja legislasi. Saya tentu saja membikin keputusan keagamaan karena kapasitasnya di situ,” ucap KH Marzuki.
Penulis : Hardianto
Editor : Oka Suryawan