DENPASAR, balipuspanews.com – Upacara pebayuhan Sapuh Leger hendaknya dilaksanakan tepat pada hari Tumpek Wayang atau Saniscara Kliwon Wuku Wayang. Dalam beberapa lontar seperti lontar Kidung Sapuh Leger menyatakan, puncak kekuatan pengaruh kala pada wuku wayang tepatnya pada Saniscara Kliwon wuku wayang.
Di masyarakat, keyakinan umat hindu untuk ruwatan bagi kelahiran wuku wayang dewasa ini sering dilaksanakan sejak hari Minggu sampai hari Jumat wuku wayang itu sah-sah saja. Namun, alangkah baiknya dilaksanakan bertepatan pada Tumpek Wayang.
Tokoh muda sekaligus Akademisi Universitas Hindu Indonesia, Denpasar, I Kadek Satria, S.Ag. M.Pd.H., kepada balipuspanews.com, Jumat (8/1/2021) menguraikan, bahwa saniscara kliwon atau tumpek merupakan akhir dari pancawara dan sapta wara, kliwon diyakini pemujaan terhadap Siwa atau hari baik memuja kekuatan Siwa. Penglukatan yang dilakukan oleh dalang samerana yang juga di sebut Siwa.
Ruwatan Sapuh Leger sering dilaksanakan pada wuku wayang dari hari Minggu sampai Jumat itu boleh dilakukan artinya sesuai kesepakatan warga.
Namun, sesuai filsafat disebutkan puncak dari pertemuan sapta wara dan panca wara adaah saniscara kliwon maka itulah waktu yang tepat yang disebut waktunya Siwa.
Sapuh leger terdiri dari dua unsur kata yaitu sapuh artinya membersihkan dan leger artinya kotor. Jadi sapuh leger berarti membersihkan kotoran.
Lebih jauh pria kelahiran Desa Bali Aga, Pedawa, Buleleng ini menyatakan, pembersihan dalam Kala Tatwa diceritakan secara singkat, ada pencarian Bhatara Kala kepada Rare Kumara yang memang lahir pada wuku wayang.
Puncak dari pencariannya dilakukan pada Saniscara Kliwon, saat itulah kemudian rare kumara bersembunyi dibawah bumbung gender dari wayang sapuh leger.
Kemudian Bhatara Kala nylimurang manah (asik) di banten bebangkit yang dipersembahkan Dalang Samerana, sehingga batallah dia mencari Rare Kumara.
“Sebenarnya pencarian ini dilakukan pada hari Minggu sampai Jumat, pada saat saniscara kliwon ini ia mendapatkan pengruwatan, pengruwatan ini disebut Sapuh Leger yang dilakukan oleh Mpu Leger atau Dalang Samerana,” urainya.
Mengapa orang kelahiran wuku wayang harus mendapatkan ruwatan atau mebayuh sapuh leger?
Satria memaparkan, bahwa ada kegundahan, ketakutan, dan merasa dalam kehidupannya di spesialkan atau menggangu bagi mereka yang lahir pada wuku wayang.
Sastra mengatakan, kelahiran pada wuku wayang memang memiliki kelebihan seperti : lebih nakal, lebih gedean ambek, lebih penyakit, dan sebagainya. Tetapi bagi mereka yang lahir pada wuku wayang mulai dari redite wayang sampai saniscara kliwon dapat dinetralisir melaui pebayuhan yang sisebut dengan sapuh leger.
Upacara sapuh leger adalah upacara untuk menetralisir hal-hal negatif bagi kelahirannya, setelah upacara sapuh leger dilakukan maka diyakini yang lahir pada wuku wayang akan terbebas dari ala (masalah).
Dengan catatan, siapapun dia, lahir di hari baik sekalipun atau lahir di hari buruk, jika dia dipelihara dengan baik, berada pada lingkungan yang baik maka dia akan kelak menjadi manusia yang baik.
Begitu pula sebaliknya, walaupun mereka lahir di hari baik, jika mereka tidak dipelihara dan berada pada lingkungan yang buruk maka dia akan menjadi orang yang kurang baik.
Jangan mereka yang lahir di wuku wayang dijadikan persoalan, karena setelah mereka sudah di netralisir dengan pebayuh sapuh leger, maka unsur-unsur negatif ke somya, bahkan antara unsur positif dan negatif menjadi seimbang dan diyakini setelah dinetralisir maka perbuatan atau prilaku baik bisa muncul setelah selesai ruwatan.
Tumpek wayang merupakan hari baik untuk memuja Sang Hyang Iswara atau pewayangan dan diupayakan pada pewayangan, dari pewayangan tersebut identik dilakukan unsur seni agar menjadi metaksu atau hidup.
Sartia mengajak seluruh umat agar tidak lupa sehari sebelum tumpek wayang atau pada hari Jumat agar melakukan persembahan atau menghaturkan berupa maseselan yang terdiri dari daun pandan, gunggung medui dengan diikat benang tri datu yang dipersembahkan di depan pintu gerbang.
Tepat pada hari tumpek wayang, umat diharapkan melaksanakan persembahyangan dengan kusuk utnuk memuja Tuhan atau Ida Sang Hyang Widhi atau Bhatara Iswara dengan tulus iklas.
Setelah persembahyangan usai baru seselan yang dihaturkan kemarin dilebar di lebuh pekarangan.
“Sekali lagi saya menekankan, hal buruk yang terjadi setiap hari atau hari suci akan lebih buruk jika diikuti dengan keinginan buruk. Dan sebaliknya, jika hal seburuk apapun jika ditangkal dengan hal baik maka inilah yang disebut mecaru yaitu mengubah energi negatif menjadi positif,” pungkasnya mengakhiri.
Penulis : Budiarta
Editor : Oka Suryawan