Overcapacity Jadi Kendala Pengguna Transportasi Publik

Sr. Urban Planning & GEDSI Associate ITDP Indonesia, Deliani Siregar dalam Dialog Forum Merdeka Barat 9 (FMB9) yang mengangkat tema “Transportasi Publik, Solusi Perangi Polusi’, Senin (18/9/2023). (Foto: FMB9)
Sr. Urban Planning & GEDSI Associate ITDP Indonesia, Deliani Siregar dalam Dialog Forum Merdeka Barat 9 (FMB9) yang mengangkat tema “Transportasi Publik, Solusi Perangi Polusi’, Senin (18/9/2023). (Foto: FMB9)

JAKARTA, balipuspanews.com – Kapasitas berlebih atau overcapacity penumpang menjadi salah satu kendala dalam mendorong masyarakat beralih dari kendaraan pribadi ke transportasi umum.

Hasil kajian Institute for Transportation and Development Policy (ITDP) mengungkap kendala overcapacity menjadi pekerjaan rumah (PR) bagi pemerintah, khususnya dalam menekan emisi karbon dari penggunaan kendaraan pribadi.

Sr. Urban Planning & GEDSI Associate ITDP Indonesia, Deliani Siregar mengatakan layanan transportasi publik di Jakarta sebetulnya sudah tergolong cukup baik dan prima. Kendati demikian, hal itu belum mampu menarik minat mayoritas masyarakat beralih dari kendaraan pribadi ke kendaraan publik.

Dalam Dialog Forum Merdeka Barat 9 (FMB9) yang mengangkat tema “Transportasi Publik, Solusi Perangi Polusi’, Senin (18/9/2023), Deliani menyebut jumlah pengguna layanan transportasi publik di Jakarta saat ini mencapai 1,8 juta penumpang per hari.

Meski terlihat banyak, namun dari sisi presentase jumlah penduduk, jumlah tersebut hanya sekitar 9,6% saja. Kalaupun ditambah dengan jumlah pengguna taksi dan angkutan daring, maka totalnya baru di kisaran 20%.

Sementara itu, penggunaan transportasi terbanyak oleh masyarakat Jakarta dan sekitarnya yakni pengguna motor pribadi yang mencapai 60%. Selanjutnya pengguna mobil pribadi sebanyak 20%.

“Mengapa dengan layanan prima, masih banyak terdapat kendala penggunaan layanan transportasi publik di Jabodetabek? Masyarakat bukan tidak ingin beralih ke transportasi publik, tetapi bisa jadi transportasi publik yang tersedia sudah overcapacity,” katanya.

Ada beberapa isu utama yang dihadapi oleh pengguna transportasi publik. Pertama, persoalan kenyamanan, yang berkaitan dengan padatnya kapasitas di dalam moda transportasi atau kondisi panas.

Kedua, faktor keandalan yang berkaitan dengan ketepatan waktu. Ketiga, penumpang perlu banyak berpindah rute/moda untuk pergi ke tempat tujuan. Faktor terakhir ini terkait dengan transfer antar moda, yang kaitannya dengan waktu tempuh. Mulai dari pindah moda, hingga jalan kaki keluar dari stasiun.

Isu serupa juga menjadi alasan faktor penghambat non-pengguna transportasi publik yang enggan beralih ke transportasi publik. Berdasarkan pemaparan Deliani, faktor kenyamanan memberikan kontribusi hingga 37,6% terhadap keengganan non-pengguna transportasi publik untuk beralih. Selanjutnya faktor waktu tempuh yang lama yang mencapai 20,1%. Terakhir, faktor keandalan mencapai 13,9%.

Baca Juga :  Pendonor ASI Harus Miliki Medical Record

ITDP juga mengungkapkan hal menarik dari sisi profil pengguna angkutan umum di ibu kota. Berdasarkan riset lembaga tersebut, kelompok rentan mendominasi penggunaan layanan transportasi publik berupa micro-trans atau angkot yang telah bergabung ke dalam ekosistem trans.

“Kelompok rentan ini termasuk lansia laki-laki dan perempuan, Perempuan dengan belanjaan banyak, perempuan dengan bayi, anak-anak, dan orang dengan disabilitas fisik,” ujarnya.

Karakteristik mereka adalah memiliki perjalanan jarak pendek, perjalanan multi-trip, banyak destinasi yang dituju dalam sekali perjalanan, mobilitas dengan kelompok rentan lainnya, membawa barang, dan melakukan perjalanan pada saat off-peak atau di luar jam kerja.

Menurutnya, peningkatan jumlah pengguna transportasi publik berkaitan langsung dengan adanya kebijakan pendukung yang dilakukan oleh Pemerintah. Baik dalam hal kapasitas, keseragaman tingkat layanan, cakupan layanan, juga informasi ketersediaan layanan.

Dengan tingginya arus pergerakan masyarakat ke, dari, dan di dalam Ibu Kota dan sekitarnya, diperlukan peningkatan kapasitas sistem transportasi publik. Hal ini terutama sekali pada jam-jam sibuk seperti berangkat maupun pulang kantor.

“Harus melebihi tingkat penggunaan transportasi publik yang ditargetkan, dan terutama transportasi publik yang menghubungkan DKI Jakarta dengan Bodetabek. Salah satu solusi jangka menengah dengan KRL yang sudah overcapacity yakni peningkatan kapasitas dan rute transportasi publik berbasis jalan (bus),” imbuhnya.

Selanjutnya, diperlukan keseragaman tingkat layanan (SPM) yang meliputi keandalan, keamanan, kenyamanan armada dan titik transit, serta tingkat tarif, termasuk untuk angkutan pengumpan di Bodetabek.

“Peningkatan tingkat layanan angkutan pengumpan dapat dimulai dari rute yang tersambung dengan transportasi publik massal di Jakarta seperti transjakarta, KRL, MRT, LRT,” tuturnya.

Deliani juga menekankan pentingnya peningkatan cakupan layanan transportasi publik massal yang tidak hanya meliputi peningkatan integrasi antara area tempat tinggal dan lokasi aktivitas masyarakat melalui transportasi pengumpan, melainkan hingga hal yang terkait dengan peningkatan kualitas trotoar dan fasilitas penyeberangan.

Selain itu, perlunya informasi ketersediaan layanan yang memiliki standardisasi dan dapat diakses oleh seluruh pengguna, meliputi rute, termasuk titik pemberhentian, jadwal keberangkatan, tarif layanan, juga waktu operasional.

“Perencanaan dan penyediaan sistem transportasi publik tidak mengenal batas administrative kota/provinsi. Perlu dilakukan integrasi regional. Integrasi merupakan kuncinya,” ujarnya.

Baca Juga :  LaNyalla Dorong Semua Pihak Bangun Konsensus Nasional Melalui Lima Proposal Sistem Kenegaraan DPD RI

Deliani menjelaskan polusi udara sesungguhnya bukan merupakan persoalan baru. Dia menyebutkan sejak 2013, 2014, bahkan hingga 2015, headline pemberitaan sejumlah media telah menyorot masalah polusi udara Jakarta.

Puncaknya, pada 16 September 2021 Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengabulkan sebagian gugatan warga (citizen lawsuit) atas kasus pencemaran udara di Jakarta, yang diajukan oleh sejumlah organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Inisiatif Bersihkan Udara Koalisi Semesta (Ibu Kota).

“Diperlukan paket kebijakan yang dapat mengatasi akar masalah secara efektif, tidak hanya kebijakan individual yang bersifat reaktif. Bagaimana semua itu menjadi kesatuan. Termasuk dalam hal penyediaan layanan transportasi publik agar masyarakat beralih ke sana,” ujarnya.

Lebih lanjut, dia menjelaskan tentang pentingnya menerapkan kebijakan transportasi berkelanjutan dengan skema “AVOID, SHIFT, IMPROVE”, yang melibatkan seluruh stakeholder yang ada, termasuk masyarakat.

“AVOID the need to travel, SHIFT to sustainable modes, dan IMPROVE quality of all modes,” tegas Deliani.

Peningkatan Sarana Transportasi Non-motor

Di forum sama, Direktur Jenderal Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Dirjen Gakkum LHK), Rasio Ridho Sani menegaskan salah satu solusi memerangi polusi adalah peningkatan sarana transportasi nonmotor (nonmotorized transportation), seperti jalur sepeda dan perluasan trotoar.

Strategi itu dinilai cukup efektif menekan tingkat emisi di perkotaan negara-negara maju yang padat penduduk.

“Banyak negara akan menyiapkan sarana transportasi non motor. Ini terus kita kembangkan jalur sepeda dan pedestrian karena itu satu kesatuan,” ujar Rasio Ridho.

Menurutnya, mengatasi polusi dari sumber emisi bergerak (kendaraan bermotor) tidak hanya dilakukan melalui kebijakan di sektor transportasi publik, melainkan juga dengan kebijakan lain seperti aturan teknologi kendaraan baru euro lima, aturan jenis bahan bakar ramah lingkungan hingga fasilitas penunjang yang ada.

Rasio Ridho menegaskan KLHK juga menyasar sumber emisi tidak bergerak sebagai salah satu penyumbang polusi udara terbesar, yakni dari industry atau pabrik-pabrik, termasuk pembangkit listrik berbahan bakar batubara di sekitar Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek).

“KLHK terus-menerus secara continue melakukan upaya valuasi baku mutu yang ada berapa yang diperbolehkan industri melepaskan emisinya itu terus kita kaji. Kemudian kita juga terus melakukan pengetatan-pengetatan persyaratan pengendalian pencemaran oleh industri, itu terus-menerus dilakukan karena tergantung ketersediaan teknologi dipasaran dan kemampuan perusahaan juga,” jelas Rasio Ridho.

Baca Juga :  KSP Moeldoko Kunjungi Pelabuhan Sanur

KLHK juga membangun alat monitoring emisi udara real time di berbagai titik lokasi industri yang terintegrasi dengan sistem internal agar bisa langsung merespon dan melakukan langkah tegas jika terjadi potensi pencemaran besar.

“Jadi industri-industri yang besar potensi pencemarannya terkoneksi dengan sistem kita secara real time. Kalau ada masalah kita bisa melakukan langkah-langkah penegakkan hukum terkait dengan kondisi tersebut, dengan fokus kepada sumber (emisi) tidak bergerak dan juga sumber bergerak,” tegas Rasio Ridho.

Integrasi Antar Wilayah

Direktur Angkutan Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ), Tatan Rustandi menekankan pentingnya memberi perhatian pada wilayah sekitar Jakarta dalam perbaikan transportasi publik.

“Salah satu tugas kami adalah memastikan bahwa perbaikan transportasi tidak hanya terjadi di Jakarta, tetapi juga di sekitarnya,” ujarnya.

Adanya ketimpangan, menurutnya bisa dirasakan dengan layanan transportasi publik di Jakarta yang telah mencapai tingkat penggunaan sekitar 70 persen. Namun, kota-kota sekitarnya masih berada di kisaran 20-30 persen. Keterbatasan ini membuat pergerakan di wilayah Jabodetabek menjadi semakin rumit.

Untuk mengatasi tantangan ini, BPTJ telah mengembangkan berbagai program, termasuk berkolaborasi dengan Pemda terkait pengembangan model layanan seperti TransJakarta, salah satunya adalah TransPakuan di Bogor.

“Intervensi pemerintah telah membuahkan hasil positif, dengan jumlah penumpang yang terus meningkat secara signifikan, dari 30 ribu menjadi 97 ribu per hari,” imbuhnya.

Integrasi antara berbagai mode transportasi juga menjadi kunci. Karena penggunaan angkutan umum masih belum mencukupi.

Maka dari itu, BPTJ memiliki konsep yang disebut JRC (Jakarta Region Card) yang mencakup tiga jenis integrasi: integrasi fisik, integrasi operasi, dan integrasi manajemen.

“Ini termasuk digitalisasi perencanaan perjalanan, peningkatan layanan, dan satu kartu untuk berbagai angkutan umum, yang bertujuan untuk meningkatkan kesetaraan pelayanan dan aksesibilitas,” ujar Tatan.

Penulis : Hardianto

Editor : Oka Suryawan