JAKARTA, balipuspanews.com – Indonesia yang belakangan ini dikejutkan dengan terjadinya dua kasus terorisme yaitu bom di Makasar dan penyerangan di Mabes Polri mengundang banyak perhatian publik baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Hal yang menjadi catatan utama dalam kasus terorisme tersebut adalah keterlibatan perempuan sebagai salah satu pelaku dalam aksi terorisme dan radikalisme.
Asisten Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), Valentina Gintings menyebut keterlibatan perempuan dalam pusaran terorisme bukan hal yang baru, namun tentu saja harus diwaspadai dan dicegah bersama.
“Ada titik-titik lemah perempuan yang mereka (teroris) itu sudah paham, cara mempengaruhinya. Isu perempuan masuk ke dalam terorisme dan ekstremisme ini sebenarnya bukan hal baru, tapi kok sepertinya semakin banyak. Artinya diproses pencegahan dan penanggulangannya kita harus pastikan,” ujar Valentina dalam Media Talk tentang Perlindungan Perempuan dari Paham Terorisme dan Ekstremisme, Rabu (07/04) yang diselenggarakan Kemen PPPA secara daring.
Dikatakannya, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menilai pentingnya upaya sosialisasi, edukasi, advokasi, memperkuat literasi, dan membentuk ketahanan keluarga dan masyarakat untuk mewaspadai dan mencegah anggota keluarga dimanfaatkan kelompok intoleran dan radikal.
Asdep Perlindungan Hak Perempuan Dalam Rumah Tangga dan Rentan Kemen PPPA, Valentina Ginting menilai keterlibatan perempuan dalam aksi radikalisme dan terorisme menunjukkan perempuan lebih rentan terlibat dalam persoalan ini.
“Penyebabnya bisa faktor sosial, ekonomi, perbedaan pola pikir, serta adanya doktrin yang terus mendorong bahkan menginspirasi para perempuan,” kata Valentina saat webinar Media Talk dengan tema “Perlindungan Perempuan dari Paham Terorisme dan Ekstrimisme, Rabu (7/4).
“Kerentanan perempuan menjadi sasaran masuknya pemahaman dan ideologi menyimpang,” tambahnya.
Lebih lanjut Valentina mengatakan pentingnya ketahanan keluarga dan strategi komunikasi yang baik dengan menginternalisasi nilai-nilai sesuai norma hukum, adat, agama, dan budaya.
Valentina menuturkan perempuan dan anak dapat berada dalam 3 posisi pada pusaran terorisme, pertama sebagai kelompok rentan terpapar, kedua sebagai korban, dan ketiga sebagai pelaku. Ia juga menambahkan ada beberapa faktor penyebab perempuan rentan dilibatkan dalam aksi terorisme, yaitu karena faktor budaya patriarki, ekonomi, dan akses informasi.
“Budaya patriarki membuat perempuan harus nurut pada suami dan ikut apa yang dikatakan suami. Kemudian, ketergantungan perempuan kepada suami dari sisi ekonomi, karena tidak punya pegangan dari segi ekonomi jadi apa pun yang dikatakan suami ya mereka (terpaksa) ikut saja. Perempuan yang berada dalam ruang lingkup yang kecil juga terkadang tidak mendapat informasi yang luas terkait radikalisme sehingga mereka gampang dipengaruhi. Ini hanya sebagian faktor-faktornya,” jelas Valentina.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Pencegahan Terorisme, Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT) Birgjen Pol Akhmad Nurwakhid membenarkan kecenderungan perempuan rentan terpapar ideologi radikalisme.
Akhmad juga menuturkan setiap orang punya potensi untuk terpapar ekstremisme dan terorisme, tidak terikat pada jenis kelamin, latar belakang, suku, agama, ras bahkan latar belakang pendidikan maupun kadar tingkat intelektualitas. Menurut Akhmad, ideologi yang radikal merupakan akarnya.
“Potensi radikal yang dimiliki seseorang dapat menjadi niat atau motif radikal yang mengarah pada aksi terorisme, dan ekstremisme ketika dipicu oleh beberapa faktor dan adanya momen,” ungkapnya.
Ketua Bidang Perempuan, Remaja dan Keluarga Majelis Ulama Indonesia, Prof. Amany Lubis Fatwa menerangkan sesuai fatwa MUI Nomor 3 Tahun 2004 Tentang Terorisme, MUI menegaskan bahwa segala tindakan teror yang menimbulkan ketakutan di tengah masyarakat hukumnya haram.
Penulis/editor: Ivan Iskandaria