JAKARTA, balipuspanews.com – Praktik Pemilu yang distortif atau memutarbalikkan fakta dalam menyuguhkan bakal calon presiden dan bakal calon wakil presiden sudah saatnya dihentikan. Jika upaya menghentikannya berharap dari partai politik, dirasakan masih sulit diwujudkan.
Oleh karena itu, salah satu cara efektif yang dapat diupayakan adalah gerakan dari semua elemen masyarakat untuk membangun kesadaran kolektif masyarakat tentang pentingnya memilih bakal Capres/Cawapres pemimpin yang diyakini dapat menjadi harapan semua pihak dalam membangun Indonesia lebih baik lagi di masa mendatang.
“Bagaimana kita sekarang mampu tidak, memutus mata rantai praktik pemilu yang distortif? Jangan pura-pura pemilunya oke. Kita tidak melakukan penegakan hukum di setiap tahapan pemilu. Ini masalah banget menurut saya,” ucap Ahli Peneliti Utama Pusat Riset Politik, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Siti Zuhro dalam diskusi Empat Pilar MPR RI dengan tema ‘Menebar Nilai Kepahlawanan dalam Kontestasi Politik Nasional’ di Media Center Parlemen, Gedung MPR/DPR/DPD, Senayan, Jakarta, Senin (15/11/2021).
Ia mengaku ada keinginan menciptakan satu pola yang lebih mencerdaskan semua dengan menempatkan tingkat kualitas kesadaran dan pemahaman masyarakat tentang arti pentingnya Pemilu.
Dalam konteks ini, Siti Zuhro meminta bakal Capres/Cawapres tidak perlu menyuguhi retorika berupa kebulatan tekad menjadikan rakyat sejahtera maupun retorika dengan membawa angin surga kepada masyarakat.
“Jangan kebulatan tekad, no way. Itu hanya kebohongan yang terjadi. Jangan ada kebulatan tekad sebelum mendengarkan secara seksama apa yang akan dia (bakal calon presiden/wapres) lakukan, kalau yang bersangkutan ingin mencalonkan atau melamar menjadi Capres-Cawapres. Jadi itu dulu,” ujarnya.
Peneliti Senior dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) ini juga meminta fenomena relawan yang mendeklarasikan Capres/Cawapres kemudian menarik-narik masyarakat untuk mendorong capres atau cawapres tertentu, namun tanpa membekali masyarakat dengan kredibilitas, kapasitas dan kompetensi calon yang dideklarasikan.
“Jangan diajari masyarakat itu berbondong-bondong atas nama komunitas-komunitas, kita deklarasikan si Wulan, si X dan sebagainya,” tegas Siti Zuhro.
Pembicara lainnya, Wakil Ketua MPR RI Fadel Muhammad mengatakan tidak adanya revisi UU Penyelenggaraan Pemilu telah menutup harapan banyaknya memunculkan Capres/Cawapres pendatang baru dalam kompetisi politik Pemilu Presiden (Pilpres) 2024.
Untuk menyiasatinya, ia mengusulkan partai politik yang diberi kewenangan mengusung Capres dan Cawapres bisa menggelar konvensi Capres dan Cawapres di internal politiknya seperti yang pernah dilakukan Partai Golkar.
“Bila dilakukan konvensi, maka capres yang didapat akan lebih bagus. Selain itu, perlu ada survei mengenai kriteria seperti apa sebenarnya yang diinginkan oleh masyarakat untuk menjadi presiden,” tegas Fadel.
Fadel yang juga Senator dari Provinsi Gorontalo menjelaskan generasi muda perlu diberi prioritas dan kesempatan untuk mencalonkan diri. Peluang yang semakin besar juga perlu dibuat berjenjang agar lebih banyak calon yang bisa maju.
“Karenanya, parpol seharusnya juga memberi kesempatan untuk mengadakan kontestasi politik untuk menggali dan mencari tokoh yang memiliki jiwa kepahlawanan, semangat dan motivasi yang tinggi, untuk muncul ke permukaan. Sehingga masyarakat bisa mendapatkan pilihan lebih banyak,” kata mantan Menteri Kelautan dan Periknan dan mantan Gubernur Gorontalo ini.
Anggota DPR dari Fraksi Partai Demokrat Herman Khaeron mendukung capres dari generasi muda. Menurutnya, ada tidaknya kesempatan bagi sosok muda, sangat tergantung pada bangsa Indonesia.
“Khususnya pemimpin yang jauh dari oligarki, bersih dan ideal sebagai calon pemimpin masa depan,” ucap Herman Khaeron.
Penulis : Hardianto
Editor : Oka Suryawan