Selasa, Maret 19, 2024
BerandaOpini AndaPilgub Bali dan Pendidikan Politik “Ala” Lembaga Penyiaran

Pilgub Bali dan Pendidikan Politik “Ala” Lembaga Penyiaran

Opini, balipuspanews.com – Pasangan calon gubernur dan wakil gubernur Bali yang akan bertarung dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada) Bali pada 2018 mulai mengerucut.

Pemberitaan terkait pencalonan juga mulai ramai di lembaga penyiaran. Sayangnya pemberitaan yang muncul lebih kental dengan nuansa perseteruan elit politik dengan kepentingan politiknya.

Lembaga penyiaran justru menikmati perseteruan tersebut dan tanpa memiliki manajemen isu yang jelas. Lembaga penyiaran khususnya televisi justru terbawa arus trend pemberitaan, tanpa mampu menyiapkan agenda atau isu pemberitaan.

Pemberitaan juga hanya terfokus pada paket pasangan calon dan sosialisasi pasangan calon untuk memperoleh dukungan. Sedangkan lembaga penyiaran radio cenderung hanya menjadi penyambung lidah dari koran maupun media online. Padahal masyarakat sangat berharap adanya pendidikan politik yang mencerdaskan dan menyejukkan.

Undang-Undang No. 40 tahun 1999 tentang pers dan Undang-Undang No. 32 tahun 2002 dengan tegas menyatakan bahwa media khususnya lembaga penyiaran sebagai media komunikasi masa mempunyai fungsi informasi, hiburan, pendidikan, kontrol dan perekat sosial.

Fungsi hiburan dan informasi cenderung yang dominan dijalankan oleh lembaga penyiaran. Bagaimana dengan fungsi pendidikan dan perekat sosial selama Pilkada 2018? Dialog terkait pilkada yang disiarkan lembaga penyiaran selama ini sering diklaim sebagai bagian dari pendidikan politik.

Walaupun dialog yang ditampilkan lebih pada debat pendapat dan pandangan masing-masing narasumber. Hal terpenting yaitu jangan sampai dialog yang disiarkan justru memperlebar jurang pemisah antar pendukung pasangan calon. Dialog yang disiarkan harusnya memberi solusi dan menjadi perekat sosial dalam menentukan pemimpin Bali.

Lembaga penyiaran sebagai sebuah media dituntut mampu independen dalam berbagai kondisi. Independen lembaga penyiaran bukan berarti tidak berpihak, berpihak juga bukan berarti mendukung salah satu kelompok atau calon.

Independensi dalam hal ini berarti keberpihakan pada kebenaran dan keberpihakan pada kepentingan masyarakat luas. Lembaga penyiaran juga memiliki kebebasan untuk mengakses informasi dan mengeksplor informasi.

Namun kebebasan tersebut bukanlah kebebasan tanpa batas. Kebebasan yang dimiliki lembaga penyiaran tentu harus memperhatikan fungsi lembaga penyiaran sebagai perekat sosial sesuai amanat pasal 4 Undang-Undang Penyiaran. Kebebasan lembaga penyiaran harus mengedepankan kepentingan integrasi nasional dan dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahtraan umum serta memajukan kesejahtraan umum sesuai amanat pasal 2 Undang-Undang Penyiaran.

Independensi menuntut lembaga penyiaran untuk mampu memberikan porsi pemberitaan dan kesempatan yang sama kepada calon pasangan yang akan bertarung dalam pilkada Bali 2018.

Pemberitaan yang tidak seimbang justru akan merugikan lembaga penyiaran sendiri, karena akan menimbulkan kesan bahwa lembaga penyiaran menjadi pendukung dan bahkan menjadi media humas dari salah satu pasangan calon.

Pemberitaan yang tidak berimbang juga akan menimbulkan tudingan bahwa pemberitaan lembaga penyiaran telah dibeli oleh pasangan calon. Pasal 46 ayat (10) Undang-Undang Penyiaran menyebutkan bahwa waktu lembaga penyiaran dilarang dibeli oleh siapa pun, untuk kepentingan apa pun, kecuali untuk siaran iklan.

Kini kembali pada lembaga masyarakat, apakah hanya akan mengejar kepentingan jangka pendek berupa peningkatan pendapatan sementara atau mengejar kepentingan jangka panjang dengan menjaga kepercayaan masyarakat. Lembaga penyiaran juga harus ingat bahwa frekuensi yang digunakan adalah milik publik dengan dan harus digunakan untuk kepentingan publik.

Penyiaran sebagai sebuah industri salah satunya juga memiliki fungsi ekonomi untuk mendukung operasional dan membayar gaji para pekerjanya. Fungsi ekonomi tersebut tentunya dalam bentuk iklan niaga. Iklan niaga terbagi atas 2 yaitu iklan komersial dan iklan layanan masyarakat. Pasal 46 Undang-Undang penyiaran dengan jelas memberikan batasan terkait persentase jumlah iklan yang disiarkan oleh lembaga penyiaran.

Ayat (8) dari pasal tersebut menyebutkan waktu siaran iklan niaga untuk lembaga penyiaran swasta paling banyak 20 persen, sedangkan untuk lembaga penyiaran publik paling banyak 15 persen dari seluruh waktu siar. Pada ayat (9) disebutkan waktu iklan layanan masyarakat untuk lembaga penyiaran swasta paling sedikit 10 persen dari siaran iklan niaga, sedangkan untuk lembaga penyiaran publik paling sedikit 30 persen dari siaran iklannya.

Pada dasarnya siaran iklan layanan masyarakat merupakan salah satu bentuk dan bagian dari pendidikan politik yang dilakukan oleh lembaga penyiaran. Sayangnya sangat jarang bahkan belum ada lembaga penyiaran di Bali yang memproduksi dan menyiarkan iklan layanan masyarakat terkait pilkada Bali secara mandiri.

Lembaga penyiaran cenderung pasif dan menunggu iklan layanan masyarakat dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) atau dari badan publik lainnya. Padahal iklan layanan masyarakat merupakan bentuk tanggungjawab sosial lembaga penyiaran atas penggunaan frekuensi publik. Cukup disayangkan lagi lembaga penyiaran menetapkan standar harga iklan layanan masyarakat sama dengan iklan komersial.

Peraturan Komisi penyiaran Indonesia No. 02/P/KPI/03/2012 tentang Standar Program Siaran (SPS) pada pasal 60 ayat (3) sangat jelas menyebutkan bahwa program iklan layanan masyarakat wajib ditayangkan secara cuma-cuma untuk iklan layanan masyarakat yang menyangkut : keselamatan umum, kewaspadaan pada bencana, kesehatan masyarakat dan kepentigan umum lainnya yang disampaikan oleh badan-badan publik.
Pada ayat (4) juga dengan tegas dinyatakan program iklan layanan masyarakat diluar ketentuan pada ayat (3) wajib mendapatkan potongan harga khusus. Waktu siar program siaran iklan layanan masyarakat juga harus memperhatikan penyebaran tayangan di setiap program siaran per-hari, sesuai ketentuan pasal 60 ayat (6) SPS.

Sanksi tentu ada bagi lembaga penyiaran yang melanggar. Pasal 83 SPS menyebutkan lembaga penyiaran swasta yang tidak menyediakan waktu siaran untuk program iklan layanan masyarakat paling sedikit 10 persen dari seluruh waktu siaran iklan niaga per-hari, setelah mendapatkan teguran tertulis sebanyak 2 kali, dikenakan sanksi adminitratif berupa denda untuk jasa penyiaran radio paling banyak Rp 100.000.000 dan untuk jasa penyiaran televisi paling banyak Rp 1 miliar.

Pasifnya lembaga penyiaran dalam menjalankan kewajiban terkait iklan layanan masyarakat tentu akibat pasifnya lembaga pengawas yaitu Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Bali.

Seharusnya KPID Bali segera membuat surat edaran dan mengingatkan lembaga penyiaran berkontribusi dalam mensukseskan pelaksanaan Pilkada Bali. KPID Bali harusnya tegas dan langsung memberikan saksi bagi lembaga penyiaran yang tidak melaksanakan kewajiban. Apalagi sanksi yang diberikan KPI secara aturan lebih sifatnya pembinaan bagi lembaga penyiaraan. Jangan sampai menimbulkan kesan KPID Bali sebagai lembaga yang ompong atau justru banci.

Peraturan komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia No. 4 tahun 2017 tentang kampanye Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota juga mengamanatkan adanya keterlibatan lembaga penyiaran dalam proses pilkada.

Pada Pasal 36 ayat (4) disebutkan media massa elektronik dan lembaga penyiaran menyiarkan iklan layanan masyarakat non-partisan paling sedikit satu kali dalam sehari dengan durasi 60 (enam puluh) detik. Pada ayat (5) disebutkan bahwa Iklan layanan masyarakat tersebut dapat diproduksi sendiri oleh media massa cetak, lembaga penyiaran atau dibuat oleh pihak lain.

Iklan layanan tersebut tentu sifatnya yang mendorong masyarakat untuk menggunakan hak pilih. Keaktifan lembaga penyiaran dalam menyiarkan iklan layanan masyarakat terkait pilkada Bali tentu dapat menjadi pedoman bagi Komisi Pemilihan Umum daerah (KPUD) Bali dalam menetapkan lembaga penyiaran yang akan dilibatkan dalam debat pasangan calon dan menyiarkan iklan kampanye.

Jangan sampai kemudian lembaga penyiaran yang tidak memberikan kontribusi mendapatkan kue iklan kampanye dan justru yang aktif berperan tidak mendapatkan apa-apa. Apalagi KPU memegang kendali dalam menentukan pemilihan media yang akan dilibatkan dalam sosialisasi dan kampanye selama pilkada. Belum lagi iklan kampanye dibiayai oleh KPU dengan sumber dana dari APBD. Sehingga sudah saatnya KPU juga memaksimalkan keterlibatan lembaga penyiaran dalam pelaksanaan Pilkada 2018. (I Nengah Muliarta – Praktisi Penyiaran Bali)

RELATED ARTICLES

ADS

- Advertisment -
- Advertisment -

Most Popular