BADUNG, balipuspanews.com – Mantan presiden AS Jhon F. Kennedy menjadi inspirasi bagi I Wayan Winasa, pematung asal Banjar Purwakerta, Desa Gerih, Kecamatan Abiansemal, Badung untuk mengembangkan usahanya.
Winasa yang mengagumi presiden ke empat Paman Sam ini sering membaca buku sang presiden sehingga ada hal positif yang melecut dirinya dalam mengembangkan kewirausahaan.
Dalam buku tersebut, Kennedy menyebutkan, bagi yang ingin sukses di dunia bisnis hendaknya jangan pernah menggantungkan harapan sepenuhnya kepada negara. Hendaknya, kata Kennedy yang disampaikan Winasa, harus berusaha sendiri dan berani keluar dari zona nyaman, serta apapun yang ingin dicapai harus diyakini, optimis, dan dikerjakan, sehingga impian bisa terwujud.
Berbekal dari pelajaran tersebut, bapak tiga anak ini berkeyakinan untuk mulai berwirausaha secara mandiri. Sebelum mengawali bisnis mematung ini, ia juga mendapatkan dorongan dari seorang kakeknya yang juga seorang seniman ukir yang memiliki karya yang berkualitas pada eranya.
Terbersit dari dua dorongan sang kakek dan buku dari seorang tokoh dunia tersebut, Winasa terbakar oleh kobaran api semangat untuk memulai menekuni dunia patung dengan khas gaya ukiran klasik ala Bali pada tahun 1978.
Menariknya, Pria kelahiran 1962 ini memulai kiprahnya dalam seni patung ini sejak dirinya masih sekolah duduk di bangku SMP. Kendati, tidak mengenyam pendidikan formal dibidang seni, namun berbekal belajar secara otodidak ia mampu melahirkan karya yang ikonik dan berkarakter.
Seiring berjalannnya waktu, dengan berkembangna pariwisata di Pulau Dewata ini, karya pria kalem ini mulai dilirik oleh pasar, baik pasar lokal, domestik, hingga mancanegara.
“ Karya patung yang saya hasilkan sudah menembus pasar Amerika, Jepang, China, Eropa,” cetus Winasa kalem.
Kepada balipuspanews.com, Minggu (24/01/2021), Winasa mengaku, karya yang ia kerjakan dengan karyawannya mampu terjual hingga ratusan patung per bulan dan aneka jenis bentuk dan ukuran.
Dia pun tidak mematok dengan harga yang tinggi untuk sebuah karyanya. Ia menyesuaikan dengan budget yang dimiliki pembeli sehingga kendati memiliki uang yang relatif kecil bisa membawa pulang karya Winasa sebagai pajangan.
“ Karya yang ada disini saya banderol mulai harga terendah mulai 100 ribu hingga 4 juta. Ukuran dan kerumitan mempengaruhi tingginya harga patung,” jelasnya.
Tak terhitung berapa jenis produk yang ia lahirkan, kisaran seratus lebih aneka patung dan pot hias yang dilahirkan tersebar di seantero dunia yang menghiasi sudut ruangan hingga jantung kota pernah dipercayakan terhadap dirinya.
Tak hanya patung dan pot, sebuah pelinggih juga ia garap dengan karya khas seorang Winasa dengan ukiran klasik tidak terlepas dari pakem ukiran Bali yang ada.
“ Untuk patung yang laku dipasaran dan banyak peminatnya yaitu patung leko, oleg, beayut. Sedangkan untuk pot dengan hiasan motif lotus sangat digemari pembeli. Sementara untuk pelinggih dengan dua motif yaitu Padma dan Tugun Karang,” bebernya.
Bagaiman kondisi produksi hingga penjualan saat Covid-19 ini?
Kata Winasa, tentu dampaknya sangat terasa sekali. Namun, ia tetap berproduksi untuk barang stok dan menciptakan karya dengan kwalitas tinggi. Kesempatan ini dijadikan untuk menambah koleksi dan melahirkan karya-karya anyar untuk dipasarkan nanti setelah wabah global ini usai.
“ Kendala pasti ada. Untuk modal, kami sudah mulai ngos-ngosan. Kalau tidak berproduksi kasihan karyawan tidak ada kerjaan. Pandemi ini sangat mengajarkan kita untuk hidup sederhana, pandemi mengajarkan kita untuk pintar mengelola keuangan,” katanya.
“ Kalau dulu kita dengan penghasilan banyak, tentu keinginan yang kita penuhi bukan kebutuhan. Kalau sekarang kita memenuhi keinginan tentu tidak bisa. Kita diajarkan pandai mengelola penghasilan selama berproduksi,” sambung Winasa.
Ia menuturkan, untuk satu ukuran patung setinggi 1 meter dengan diameter 50 centi meter, dapat dikerjakan dengan membutuhkan waktu mencapai satu pekan lamanya.
Tahap pengerjaannya, diawali dengan cor serpihan bahan pokok paras dengan semen selama satu hari, selanjutnya sesudah kering dilanjutkan dengan proses makal atau pembentukan rupa, setelah itu baru dilanjutkan dengan mengukir dengan memakan waktu kurang lebih empat hingga lima hari. Setelah proses ukir selesai dilanjutkan dengan finishing dengan pewarnaan yang sesuai.
Dibalik kesuksesannya menghasilkan karya-karya patung yang berkualitas ini, Winasa juga berhasil melahirkan wirausaha-wirausaha yang pernah mengenyam pekerjaan ditempatnya.
Kendati banyak saingan dari mantan anak buahnya, ia merasa bangga mampu melahirkan seniman-seniman baru yang mampu merekrut tenaga kerja di Desa.
“ Kami bangga anak buah kami bisa berdikari sendiri.Ia mampu menghidupi keluarga hingga mencetak lapangan pekerjaan baru. Kami sama sekali tidak merasa tersaingi,” ungkap pria berambut panjang dengan penampilan seadanya.
Selain bangga dengan banyak lahirnya pelaku Usaha Mikro Kecil dan Menengah, (UMKM) lewat karya-karya yang dihasilkan Winasa, ini mampu membawa nama baik Desa Gerih.
Dulunya Desa gerih sendiri asing di telinga masyarakat, kini masyarakat Bali khususnya, dan masyarakat luar mengagumi dan mengincar karya khas Winasa.
Penulis : Nengah Budiarta
Editor : Oka Suryawan