Jumat, Maret 29, 2024
BerandaKarangasemRancangan Living Museum Mata Air dan Rilief Jaman Batu Pesaban (2-habis) Konservasi...

Rancangan Living Museum Mata Air dan Rilief Jaman Batu Pesaban (2-habis) Konservasi Rilief serta Batu Berumur 30 Ribu tahun

KARANGASEM, balipuspanews.com – Banyaknya batu bersejarah serta rilief yang berada di bebatuan diperkirakan berumur 30 Ribu tahun itu menjadi salah satu dorongan untuk melakukan konservasi sekaligus membangun Living Musrum Mata Air dan Rilief Jaman Batu Pesaban.

” Bebatuan bersejarah itu menjadi dinding Mata Air, dan diseputaran rilief tumbuh mata air bersejarah ini menjadi motivasi kuat kenapa kami membangun living museum,” kata Putu Artayasa, Ketua Kelompok Sadar Wisata (POKDARWIS) Saban Bercahaya Pesaban, Rendang, Karangasem.

Artayasa didampingi Bendesa Adat, I Made Sudiarta dan Kepala Desa, Dewa Sarjana mengatakan rilief itu dibuat pada jaman Megalitikum.

Megalitikum ini, kata Artayasa yang juga Owner Media Online Balipuspanews ini berasal dari kata mega  yang berarti besar, dan lithos yang berarti batu.

Zaman Megalitikum  bisa disebut dengan zaman batu besar, yang mana manusia pada zaman itu sudah bisa meningkatkan kebudayaannya pada bidang kebatuannya. Kebudayaan itu berawal dari Neolitikum hingga zaman perunggu.

“Pada waktu itu manusia sudah mempunyai kepercayaan. Kepercayaan mereka hanya pada tingkat awal, yakni percaya kepada roh nenek moyangnya,” ujarnya

.

Seperti diberitakan sebelumnya setelah sekian lama terpendam serta simpang siur soal keberadaan situs lukisan wayang diatas batu di kawasan Manukaya Dagdag, Desa Pesaban, Kecamatan Rendang, Kabupaten Karangasem akhirnya terungkap.

Medan yang sulit serta minimnya kesadaran akan pentingnya sejarah membuat salah satu bagian keberadaan situs wayang dalam gambar bentuk manusia ini menjadi lama tak terlestarikan.

Namun, berkat Pokdarwis atau Kelompok Desa Wisata yang dikomandani oleh I Putu Puspa Artayasa benda bersejarah itu mulai dikuak misterinya.

BACA :  Berikan Rasa Aman, Ketua DPRD Karangasem Dukung OPS Ketupat Agung 2024

Berkat doa dan restu masyarakat Pesaban serta dukungan dari Kepala Desa, Dewa Sarjana Dan Bendesa Adar, I Made Sudiarta akhirnya benda bersejarah itu bisa terkuak.

Menurut Putu Yuda Haribuana dari Badan Arkeologi Bali yang turun langsung ke lokasi memaparkan kajian singkatnya

“Kajian singkat ini dibuat sebagai tindak lanjut dari peninjauan lapangan ke
lokasi temuan relief, sebagaimana surat undangan dari Pokdarwis Saban Bercahaya Desa Pesaban, Nomor: 5/PKD-PSB/VI/2019, yang ditujukan kepada Kepala Balai  Arkeologi Bali,” kata Putu demikian pria ini disapa akrab pada hari Rabu (31/7/2019).

Berdasarkan undangan tersebut Kepala Balai Arkeologi menugaskan pihaknya untuk melakukan peninjauan ke lokasi dimaksud dengan surat  tugas Nomor: 0649/H5.9/KP/2019. Kegiatan peninjauan dilakukan bersama dengan perwakilan dari Balai Arkeologi Bali, BPCB Bali, Dinas Kebudayaan Kabupaten Karangasem, Camat Rendang dan Perbekel Pesaban, serta Kepala Dusun Pesaban Kawan dilakukan pada hari Senin (8/7/2019)

Hasil dan pembahasan lokasi relief secara administratif terletak di Dusun Pesaban Kawan atau Subak Mukaya, Desa Pesaban, Kecamatan Rendang-Karangasem. Secara astronomis terletak pada -8.47293ºLS dan 115.39490ºBT di ketinggian 369.2 mdpl

Lokasi dapat dicapai dari Kantor Desa Pesaban menuju ke utara  kemudian lewat gang ke arah barat atau kiri, dengan menggunakan sepeda motor mengikuti jalan beton sejauh ± 1km.

“Relief ini dibuat pada sebuah media batu padas pada tebing bagian timur
Tukad atau Sungai Jinah, ukuran total media batu padas dimana terdapat relief ini adalah 3 x 2.4 m, dengan kedalaman pahatan 5 cm. Relief berupa gambar perwujudan laki-laki dan perempuan dengan ciri khas menampakkan alat genital.,” ujarnya.

Lebih jauh ditekankan, Gaya relief sederhana dengan hiasan pada pinggiran yang berbentuk bingkai  bermotif bentuk mata, daun, suluran, kotak dan lingkaran atau spiral. Media batu pada relief ini berupa batuan tufa dengan sedikit fragmen breksi.

BACA :  Diduga Karena Masalah Makanan, Tukang Air Nekad Tusuk Temannya

Jika dikorelasikan dengan kisaran umur pada peta geologi yang dikompilasi oleh Purbo-Hadiwidjojo  et al (1998), batuan ini termasuk dalam kelompok Batuan Gunung api Buyan Bratan dan Batur dengan kisaran umur 30.000 tahun.

Kelompok batuan vulkanik ini sebagian besar tersusun atas tufa dan lahar. Kondisi relief secara keseluruhan  masih terjaga dengan baik, namun terdapat beberapa bagian yang telah aus atau lapuk dan ditumbuhi sejenis tumbuhan jamur.

Letak relief yang berada pada tebing sungai yang sangat curam dengan kemiringan hampir 90º, namun masih terdapat sejenis pelataran sempit dari sedimen atau endapan tanah, bekas jatuhan bongkah batuan dari atas, sehingga masih dapat dilalui walaupun harus dengan sangat berhati-hati.

Dalam arkeologi, penggambaran sesuatu dengan media batu, dari teknik
Pembuatannya terbagi menjadi tiga, rock painting (lukisan), rock engraving
(goresan) dan rock carving (pahatan). Gambar di situs Mukaya Dagdag termasuk dalam rock carving.

Berdasarkan dari bentuknya, pahatan berupa dua figurin ini termasuk bertipe sederhana dan teknik pengerjaanya masih kasar. Penggambaran gigurin kaku dan statis.

Ukiran tidak dipahatkan secara keseluruhan, hanya bagian kepala, dengan mata, hidung, dan mulut, serta hiasan kepala.

Bagian kaki tidakNampak jelas, dan penggambaran kemaluan yang menonjol.

Dari keseluruhan penggambaran tersebut, seni cadas diatas dapat dikaitkan dengan konsep budaya megalitik. Istilah megalith berasal dari mega berarti besar dan lithos berarti batu.

Budaya megalitik berkembang sejak masa neolitik hingga masa perundagian, bahkan sampai saat ini masih ada yang bertahan, dan disebut

BACA :  Gunung Marapi Erupsi, Sejumlah Penerbangan Dibatalkan

Sebagai tradisi megalitik. Konsep yang melatarbelakangi budaya megalitik adalah kepercayaan pada roh leluhur. Kebudayaan megalitik hadir sebagai manifestasi dalam menjalin hubungan antara yang hidup dan yang telah meninggal.

Apabila dikaitkan dengan konsep megalitik, penggambaran dua figurin  berupa laki-laki dan perempuan tersebut kemungkinan melambangkan leluhur dan genitalia yang menonjol melambangkan kesuburan maupun tolak bala.

Hal ini terkait dengan kepercayaan bahwa roh orang yang telah meninggal hidup di alam lain, dan dianggap mempunyai pengaruh kuat terhadap kehidupan manusia yang  masih hidup, sehingga media tersebut dipergunakan sebagai penghubung.

Dalam kehidupan prasejarah di bali, kebudayaan megalitik berkembang
sangat pesat, dengan tinggalannya yang paling banyak ditemukan berupa
sarkofagus atau petikubur batu. Hiasan yang terdapat di dalam sarkofagus berupa kedok muka, dan juga genitalia yang menonjol.

Menurut beberapa peneliti, hal tersebut terkait dengan konsep kelahiran kembali dan juga kesuburan serta tolak bala.

Temuan berupa seni cadas dengan bentuk yang sederhana seperti diatas,
belum ditemukan di daerah lain di bali, sehingga sangat menarik untuk dikaji lebih jauh agar dapat mengintepretasikan lebih dalam terkait dengan fungsi dan makna Yang terkandung didalamnya.

Lebih jauh untuk mengungkap keterkaitannya dengan situs megalitik lain di Bali maupun di Indonesia.

Temuan seni cadas di Indonesia ditemukan dibeberapa seperti di Sulawesi dari masa yang lebih tua (masa paleolitik), situs gua harimau di Sumatra, di papua, dan di wilayah NTT.

Seni cadas berupa pahat baru-baru ini ditemukan di Lembata dan di Alor. Simpulan sementara mengenai seni cadas di NTT terkait dengan budaya Austronesia yang menyebar di wilayah ini. (artayasa/bpn/tim)

 

RELATED ARTICLES

ADS

- Advertisment -
- Advertisment -

Most Popular