Jumat, Desember 8, 2023
BerandaGianyarSempat "Tiarap" Akibat Pandemi, Tari Kecak Kembali Menghibur Wisatawan di Ubud

Sempat “Tiarap” Akibat Pandemi, Tari Kecak Kembali Menghibur Wisatawan di Ubud

GIANYAR, balipuspanews.com – Sempat “tiarap” akibat pandemi Covid-19, Tari Kecak Desa Adat Ubud kembali dipentaskan untuk menghibur wisatawan yang berkunjung ke kampung turis itu. Salah satu tempat pertunjukan adalah kawasan Pura Dalem Ubud.

Pertunjukan kecak sudah eksis selama 28 tahun dan menjadi pilar perekonomian krama setempat. Seperti untuk penataan parhyangan atau tempat suci, piodalan hingga kesejahteraan Krama itu sendiri.

Seperti diungkapkan pencetus Sekaa Kecak Desa Adat Ubud Kaja, I Nyoman Ada saat ditemui disela pertunjukan Kecak Ramayana dan Fire Dance.

Dijelaskannya, Sekaa Kecak Ubud Kaja mulai dirintis sekitar Tahun 1992. Seluruh kepala keluarga dikumpulkan untuk menyamakan persepsi. Nyoman Ada melihat potensi kunjungan wisatawan ke Ubud waktu itu. Kemudian tergerak untuk menyajikan sebuah pertunjukan seni kepada wisatawan. Maka dipilihlah pertunjukan Tari Kecak Ramayana bagian Yuda Kanda.

Dua tahun berlatih, Sekaa Kecak Desa Adat Ubud Kaja pentas perdana sekitar bulan September 1994 silam. Antusiasme wisatawan sangat tinggi. Hampir setiap Senin dan Jumat malam kalangan Jaba sisi Pura disesaki wisatawan. Sekali pertunjukan ditonton sekitar 300 sampai 500 orang wisatawan.

Pertunjukan Tari Kecak Ramayana ini tetap eksis. Estafet berkesenian telah diteruskan dari penari sepuh kepada cucu bahkan cicit mereka kini ketika Sekaa Kecak Ubud Kaja genap berusia 28 tahun.

Maka itu, keberadaan sekaa ini sangat berarti bagi semua krama Banjar Ubud Kaja. Sebab, semua biaya pembangunan ditunjang dari pertunjukan kecak.

“30 tahun yang lalu kami telah memikirkan bagaimana caranya waktu itu membangun pura dan merawat,” jelasnya.

Tidak saja ngempon Pura Dalem, Krama Banjar Ubud Kaja juga ngempon Pura Prajapati, Pura Beji dan Pura Dalem Alit.

BACA :  PPKM Berlanjut, Polres Gianyar Bagikan Sembako kepada Warga Kurang Mampu

“Supaya ada pemasukan. Ada ide bentuk Cak,” terangnya.

Pendapatan dari pertunjukan Cak ini pun dirasakan sangat bermanfaat oleh Krama.

“Seiring berjalannya waktu, Cak ini semakin eksis. Sampai sekarang sudah 28 tahun,” jelas Nyoman Ada.

Berbeda dengan ragam kesenian yang lazimnya diwarisi turun temurun dari nenek moyang, Cak ini memang dicetuskan untuk menjadi seni pertunjukan. Sedikitnya ada 220 orang Sekaa Cak ditambah belasan penari.

Bisa atau tidak bisa menari, semua Krama wajib belajar bersama-sama untuk menjaga eksistensi Cak ini. Sehingga sejak anak-anak, Krama sudah diperkenalkan dan dilibatkan dalam pertunjukan tarian Cak ini.

“Krama sejak ada Cak, sepeserpun tidak pernah keluar peturunan (iuran),” bebernya.

Selain itu, saat pariwisata Bali dalam kondisi terpuruk terdampak pandemi, Krama Desa Adat Ubud Kaja rutin hampir 1,5 tahun digelontor bantuan beras 25 Kilogram per bulan per KK.

Kecak Ramayana ini digelar dua kali seminggu, yakni setiap Senin dan Jumat mulai Pukul 19.30 WITA sampai selesai.

“Durasi pertunjukan biasanya sampai 1 jam,” terangnya.

Selain hari tersebut, diselingi pertunjukan tari Barong dan Legong. Eksistensi 28 Tahun Kecak Ubud Kaja ini rencananya akan diperingati secara spesial pada Minggu (25/9/2022) malam bertepatan dengan rahina Tilem. Akan ada pertunjukan Tari Cak sekaligus refleksi dan proyeksi Sekaa Cak ini mulai dibentuk hingga harapan di masa depan.

Kelihan Adat Banjar Ubud Kaja sekaligus Ketua Panitia 28 Tahun Sekaa Kecak Krama Desa Adat Ubud Kaja, I Wayan Putih Subadi menjelaskan peringatan ini momen penting karena anggota Sekaa saat ini didominasi anak muda.

“Lebih dari 50% adalah anak-anak muda. Semangat mereka luar biasa. Bisa dibayangkan, merekalah yang menerima marwah Kecak dari awalnya kakek mereka, kini cucu,” jelasnya.

BACA :  Ny. Putri Koster Motivasi Perempuan Tetap Aktif, Kreatif dan Inovatif

Wayan Putih Subandi meyakini masih ada generasi muda yang belum paham tentang Sekaa Kecak Desa Adat Ubud Kaja ini. Oleh karena itu, Prajuru bermaksud memacu semangat generasi muda untuk melanjutkan seni pertunjukan ini. Pihaknya pun melibatkan maestro Prof I Wayan Dibia selaku pembina.

“Konsep kami Ulu Teben. Astungkara bisa selamat dari Covid, komunitas ini tetap bisa eksis. Sejatinya sulit sekali, karena anggota kami ada yang tidak senang menari karena memang bukan seniman. Tapi mereka harus hidup, sehingga harus kita paksa,” ujarnya.

Pada momentum 28 tahun ini, Wayan Putih Subandi merasa Sekaa ini layak menyandang Penghargaan Parama Patram Budaya.

“Banyak aspek ingin kami capai. Bahwa pertunjukan ini layak mendapatkan lisensi dari pemerintah sebagai seni yang berkualitas,” jelasnya.

Utamanya lagi, pihaknya berharap Sekaa Kecak ini bisa dilanjutkan oleh generasi berikutnya.

Pertunjukan Tari Kecak Ramayana ini mengangkat bagian terakhir epos Ramayana yakni Yuda Kanda. Ketika semua Patih Alengka sudah gugur, menyisakan hanya Kumbakarna.

“Kumbakarna dirayu oleh kakaknya agar berangkat ke medan laga. Kumbakarna menyanggupi, namun bukan untuk membela Rahwana melainkan demi kerajaan Alengka,” terangnya.

Setelah pertunjukan peperangan tersebut, disuguhkan Fire Dance, Tari pamungkas Sanghyang Jaran. Tarian ini dipentaskan satu orang penari yang menari di atas bara api. Percikan api yang meliuk diantara semburan asap ini menjadi pemikat tersendiri.

Wisatawan tampak takjub, tampak dari ketegangan mereka selama menonton aksi bermain api. Hingga lampu menyala pertanda pertunjukan selesai, mereka masih terkagum kagum dengan tepukan tangan meriah.

Penulis : Ketut Catur

Editor : Oka Suryawan 

RELATED ARTICLES

ADS

- Advertisment -
- Advertisment -

Most Popular