Sosialisasi RKUHP Harus Dijadikan Ajang Bagi Masyarakat Memahami Isi Materi RUU 

Akademisi Hukum Pidana dari Universitas Jember, I Gede Widhiana Suarda dalam diskusi virtual bertema “RUU KUHP: Wujud Keadilan Hukum Indonesia” yang digelar Forum Merdeka Barat 9 (FMB9), pada Senin (29/8/2022). (Foto: FMB9)
Akademisi Hukum Pidana dari Universitas Jember, I Gede Widhiana Suarda dalam diskusi virtual bertema “RUU KUHP: Wujud Keadilan Hukum Indonesia” yang digelar Forum Merdeka Barat 9 (FMB9), pada Senin (29/8/2022). (Foto: FMB9)

JAKARTA, balipuspanews.com – Pemerintah melalui Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (MenkumHAM), gencar menggelar sosialisasi dan dialog publik secara masif terkait isi Rancangan Undang-Undang merevisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP).

Akademisi Hukum Pidana dari Universitas Jember, I Gede Widhiana Suarda mengatakan sejauh pengamatannya, publik telah mendapatkan penjelasan terkait 14 isu krusial yang tercantung dalam RUU KUHP ini.

Sehingga, terkait 14 isu krusial itu, sebetulnya publik sudah mendapat penjelasan dari Tim Sosialisasi RUU KUHP.

“Intinya dari masyarakat, saya lihat tidak begitu banyak yang kemudian bertanya-tanya lagi terhadap 14 isu krusial tersebut,” ucap I Gede Widhiana Suarda dalam diskusi online bertema “RUU KUHP: Wujud Keadilan Hukum Indonesia” yang digelar Forum Merdeka Barat 9 (FMB9), pada Senin (29/8/2022).

Pada prinsipnya, menurut Widhiana sejauh ini pertanyaan publik seputar 14 isu krusial itu, hanya karena belum memahami betul subtansi mataeri dari 14 isu kruaial RUU KUHP mungkin yang mungkin bisa disebabkan belum teliti dalam membacanya atau mungkin lebih jauh lagi dalam memahaminya.

Sehingga sosialisasi ke depan, menurut Widhiana, sangat baik untuk dijadikan sebagai ajang untuk memahami bagaimana sebetulnya isi dari RUU KUHP sendiri.

“Kegelisahan publik terkait 14 isu krusial itu, tidak lebih dari sekedar ketidaktahuan saja,” ujarnya.

Pada dasarnya, kata I Gede, dari sosialisasi yang sudah dan akan dilakukan oleh pemerintah terhadap keseluruhan RUU KUHP dan secara khusus 14 isu krusial, ada dua yang sudah diakomodir oleh tim perumus. Pertama adalah penghapusan pasal advokat curang dan kedua adalah terkait praktek dokter tanpa izin.

“Hal ini sebagai bentuk apresiasi tim dan sebagai bentuk dari bagaimana tim mendengar masukan dari semua pihak dan kalangan. Sehingga pasal yang mengatur advokat curang itu kemudian dihapuskan, termasuk juga pasal mengenai praktek dokter yang tidak ada izin, itu juga sudah dihapuskan oleh tim perumus,” ungkapnya.

Sebagai informasi, pemerintah telah menyerahkan draf RUU KUHP kepada DPR pada 6 Juli 2022 lalu untuk dilakukan pembahasan lebih mendalam sebelum kemudian disahkan. Edward menyampaikan, ada 37 bab dan 632 pasal dalam RUU KUHP ini.

Pembicara lainnya Wakil Menteri Hukum & HAM, Edward Omar Sharif H mengistilahkan Sosialisasi RUU KUHP yang dilakukan pemerintah saat ini sebagai dialog publik terbuka, tapi terbatas.

Oleh karena itu, Edward menjelaskan, dalam melakukan sosialisasi, pihaknya ibarat pepatah yang mengatakan “menyelam sambil minum air”. Artinya, selain melakukan sosialisasi pihaknya juga terus mengali masukan dari masyarakat.

“Saya kira ini berjalan secara paralel, sembari pemerintah melakukan dialog publik dan sosialisasi, DPR juga melalui jalur formal sudah melakukan Rapat Dengar Pendapat (RDP), paling tidak dengan 2 elemen masyarakat, yang pertama adalah Dewan Pers dan Ikatan Dokter Indonesia,” ujarnya.

Namun, Edward menggarisbawahi, dialog publik dilakukan secara terbuka dan terbatas. Terbuka artinya menerima masukan dari manapun. Sementara terbatas, sebab pihaknya lebih fokus pada 14 isu krusial.

Pentingnya Keberadaan Agama

Sementara itu, Wakil Ketua LPBH PBNU, Abu Rokhmad menyampaikan apresiasi terhadap keberadaan pasal penodaan agama. Menurutnya, keberadaan pasal tersebut menandakan bahwa para perumus undang-undang ini masih menganggap penting keberadaan agama, umat dan simbol-simbolnya.

“Oleh karena itu, kalau di dalam rancangan undang-undang KUHP pidana itu masih dicantumkan pasal penodaan agama, itu berarti pembuat undang-undang masih menganggap penting agama itu sendiri, lalu umat agamanya, kemudian simbol-simbolnya,” katanya.

Abu mengatakan, negara perlu melindungi pemeluk agama, termasuk para pengikut aliaran kepercayaan melalui undang-undang. Tujuannya adalah semata-mata untuk menjaga kebersamaan, kemaslahatan.

“Sebab kalau ini (pasal penodaan agama-red) dibiarkan begitu saja, saya kira kita hanya akan mengulang ulang saja, mengulang sejarah masa lalu. Kita sudah berkali-kali ada kejadian semacam itu,” ujarnya.

Abu lantas menyampaikan catatan kritis terhadap implementasi dan penerapan pasal penodaan agama ini. Menurutnya, yang perlu diperhatikan adalah unsur-unsur penodaan agamanya. Apalagi jika pasal penodaan agama ini dipadukan dengan pasal UU ITE.

“Supaya tidak menjadi pasal karet, betul-betul harus memenuhi unsur-unsur pidananya itu harus betul-betul bisa kita ketahui bersama. Lalu kemudian aparat penegak hukumnya juga di dalam mengimplementasikannya itu juga harus berhati-hati, sungguh-sungguh cermat karena ini menyangkut agama. Apalagi kalu dipadukan dengan UU ITE,” tegasnya.

Penulis : Hardianto

Editor : Oka Suryawan