Putusan MK Terkait UU Cipta Kerja Berpotensi Menimbulkan Masalah

Wakil Ketua MPR RI Arsul Sani usai diskusi Empat Pilar MPR RI dengan tema 'Menakar Inkonstitusionalitas UU Cipta Kerja Pascaputusan MK' di Media Center Parlemen, Gedung MPR/DPR/DPD RI, Senayan, Jakarta, Senin (29/11/2021). (Foto: MPR RI)
Wakil Ketua MPR RI Arsul Sani usai diskusi Empat Pilar MPR RI dengan tema 'Menakar Inkonstitusionalitas UU Cipta Kerja Pascaputusan MK' di Media Center Parlemen, Gedung MPR/DPR/DPD RI, Senayan, Jakarta, Senin (29/11/2021). (Foto: MPR RI)

JAKARTA, balipuspanews.com – Putusan uji materi atau judicial review Mahkamah Konstitusi (MK) bahwa UU Undang-Undang 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat berpotensi menimbulkan masalah baru.

Putusan inkonstitusional bersyarat dimaksud karena MK mensyaratkan kepada Pemerintah dan DPR selaku pembuat UU Cipta Kerja melakukan revisi selama dua tahun. Bila selama kurun waktu itu tidak direvisi maka UU Cipta Kerja baru dinilai bertentangan dengan UUD NRI 1945.

Wakil Ketua MPR RI Arsul Sani mengatakan seharusnya putusan MK bersifat final dan mengikat karena sudah mencakup pengujian dari aspek uji materiil maupun aspek uji formil. Namun, Putusan MK mengenai UU Cipta Kerja dinilainya baru sebatas uji formil.

Penegasan disampaikan Arsul Sani dalam diskusi Empat Pilar MPR RI dengan tema ‘Menakar Inkonstitusionalitas UU Cipta Kerja Pascaputusan MK’ di Media Center Parlemen, Gedung MPR/DPR/DPD RI, Senayan, Jakarta, Senin (29/11/2021).

Arsul memprediksi akan muncul masalah baru bila pemerintah dan DPR yang kemudian sudah merevisi UU Cipta Kerja tetapi masih ada ketidakpuasan di masyarakat dari hasil uji materiil.

Baca Juga :  Sambut Hari Tumpek Landep, Pemkab Klungkung Pamerkan Keris di Museum Semarajaya

“Karena kalau pemerintah dan DPR sudah memperbaiki, kemudian hasil perbaikannya itu secara materiil ada yang tidak puas elemen warga negara ini, ini kan diuji lagi secara materiil,” ucap Arsul.

Arsul yang juga Anggota Komisi III (membidangi hukum) DPR RI menilai MK seharusnya membuat putusan sekaligus baik uji materiil maupun uji formilnya. Sehingga perbaikan bisa dilakukan DPR dan pemerintah sekali saja.

“Mestinya menurut saya, MK memutuskannya itu sekaligus. Baik uji formil maupun materiilnya, jangan sendiri-sendiri. Sehingga pembentuk undang-undang kalau pun harus memperbaiki, bahkan harus mengganti undang-undang itu, satu kali kerjaan, tidak menimbulkan potensi menimbulkan masalah,” ujarnya.

Dengan demikian, Arsul berpandangan bahwa putusan MK tidak mengikuti prinsip menyelesaikan masalah tanpa menimbulkan masalah.

“Jadi buat saya ini adalah sebuah keputusan yang menyelesaikan masalah tapi potensi mendatangkan masalah,” tegasnya.

Pembicara lainnya, Anggota DPR RI Firman Soebagyo yang hadir sebagai saksi fakta mewakili DPR RI secara kelembagaan mengakui prinsip putusan MK yang bersifat final dan mengikat tidak ada dalam putusan terkait UU Cipta Kerja ini. Tetapi yang ada sekarang ini kan tafsirnya kemana-mana.

Baca Juga :  Sekda Adi Arnawa Tinjau Produksi Beras di RMU Pangsan dan Getasan

“Artinya bahwa tidak boleh ada tafsir lain, bahwa undang-undang ini dinyatakan batal atau tidak perlu. Bahkan tidak ada satu pasalpun yang dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Namun dalam amar putusan itu juga disampaikan oleh hakim MK berkali-kali bahwa UU Cipta kerja ini dianggap inkonstitusional,” terang Firman.

Anggota Badan Legislasi (Baleg) dan mantan Anggota Panitia Kerja (Panja) RUU Cipta Kerja ini mengatakan dalam putusan MK tersebut sebenarnya tidak membatalkan pasal perpasal UU Cipta kerja tetapi hanya penyempurnaan. Terkait itu, ia memastikan DPR akan segera memasukan revisi UU Cipta Kerja sebagai RUU prioritas dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas).

“Desember ini kita akan menyusun program legislasi nasional untuk 2022 jangka panjang dan jangka menengah. Itu nanti akan kita masukkan ke program legislasi nasional,” tegasnya.

Pakar Hukum Tata Negara Prof.Dr Juanda mengatakan secara akademisi ia berpandangan putusan MK memang aneh, bingung dan tidak konsisten.

Baca Juga :  Generasi Muda Dituntut Menjadi Bagian Penting Bonus Demografi Indonesia 2030-2045

“Tidak konsisten dengan apa dengan prinsip-prinsip negara konstitusi dan prinsip-prinsip negara hukum, artinya seharusnya para hakim konstitusi itu tidak ada yang disetting. Kalau memang mengatakan ini cacat prosedur sebagai orang hukum, ya bulat cacat prosedur,” kata Juanda.

Perbedaan pendapat dari sembilan hakim MK yang memutus uji materi UU Cipta Kerja itu, menurut Juanda bisa jadi karena masing-masing hakim konstitusi memegang mazhab berbeda.

“Sehingga muncullah perbedaan pendapat (dissenting opinion) dimana 5 hakim MK menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat dan 4 hakim MK lainnya menyatakan tidak ada masalah,” ucap Juanda.

Seharusnya menurut Juanda, apabila berpegang pada putusan MK yang bersifat final dan mengikat maka ketika sebuah undang-undang dikatakan cacat secara formil, maka seharusnya MK memutuskan bahwa secara utuh MK harus menyatakan bahwa UU Cipta Kerja tidak berlaku.

“MK seharusnya secara utuh menyatakan UU Cipta Kerja tidak berlaku. Ini yang tidak konsisten seperti yang disebut Pak Arsul tadi,” tegas Juanda.

Penulis : Hardianto

Editor : Oka Suryawan