Nama I Wayan Mudita sebagai penulis lontar handal bukan hanya terkenal di Bali. Talenta pria berusia 88 tahun asal desa Tenganan Pegringsingan, Manggis, Karangasem itu juga tersohor ke mancanegara. Seperti apa?
Nengah Budiarta, Karangasem
Seorang pria uzur terlihat membuka pintu gerbang rumahnya saat Balipuspanews.com mendatangi salah satu rumah di desa Tenganan Pegringsingan, Manggis, Karangasem. Sembari tersenyum, pria yang tak lain adalah I Wayan Mudita itu mempersilahkan untuk masuk ke rumahnya. Nama Mudita tidak asing dikalangan warga sekitarnya. Pria yang tetap punya semangat tinggi diusianya yang sangat sepuh itu dikenal mempuni menulis lontar aksara Bali. Hampir 78 tahun hidupnya dihabiskan untuk menekuni seni menyurat lontar.
Sudah tidak terhitung berapa banyak karya yang dihasilkan oleh bapak empat anak dan sepuluh cucu itu. Pun demikian, pria yang saat ditemui hanya menggenakan kamen batik dan tidak memakai baju itu sejak tahun 1970-an menyempatkan mendokumentasikan mereka yang sempat mendatangi kediamannya. Dokumen catatan pengunjung dan beberapa foto itu nampak tersimpan rapi disalah satu kamar rumahnya.
Dari sekian banyak pengunjung, nama presiden Italia Alessandro Pertini dan presiden RI kelima Megawati Soekarno Putri ikut tercantum sebagai catatan pengunjung yang pernah mendatangi kediaman Mudita.
Mudita menuturkan, Alessandro Pertini datang ke rumahnya tahun 1983. Saat berkunjung, orang nomor satu di negeri pizza sempat menyaksikan dari dekat bagaimana dirinya menulis lontar.
“ Sempat bertatap muka dan menanyakan cara menulis lontar,” kenang Mudita.
Sementara presiden kelima Megawati Soekarno Putri menyempatkan mampir ke kediamannya untuk membeli lontar Ramayana jilid II yang berjudul “ Gugurnya Subali ”.
Lantas kapan waktu yang baik untuk menyurat lontar? Mudita menjelaskan, waktu yang paling bagus untuk memulai nyurat lontar adalah pukul 03.00 dinihari. Bangun subuh membuat ingatannya segar dan konsentrasinya focus. Umumnya, lontar yang ditulisnya adalah kekawin, prasi dan berbagai sastra kuno yang disalin dari buku.
Selain mempuni menulis lontar, Mudita juga dikenal sebagai dalang dan piwai memainkan gambelan gender. Kendati ribuan karyanya sudah terjual hingga ke berbagai belahan dunia, ada beberapa karyanya yang tetap dipertahankan karena memiliki keistimewaan tersendiri. Mudita mencontohkan, karyanya yang berjudul “ Sutasomananta” yang tebalnya 122 lembar lontar. Karyanya tersebut sempat ditawar sampai Rp 400 juta. Namun, Mudita tidak mau melepasnya.
Kecintaannya menulis aksara Bali, sudah ditekuni Mudita sejak duduk di bangku sekolah dasar ( SD). Namun, kepiawaiannya seperti sekarang ini Mudita dapatkan dengan belajar otodidak. Melihat minimnya hiburan kala itu, dirinya hanya menjalani kehidupan dengan sekolah, bermain, dan belajar mengasah ilmu sastra Bali.
Pegabdiannya terhadap seni sastra, membuat banyak kalangan sering mengunjungi kediamannya yang sangat sederhana itu. Mulai kalangan akademisi, pendeta, maupun penekun sastra silih berganti datang untuk melihat karyanya dari dekat dan teknik menulis lontar yang benar. Selain itu, ada juga mereka yang datang ingin belajar magegitan dan gambelan gender. Bukan hanya warga lokal, wisatawan asingpun kerap datang ke rumah Mudita untuk menyaksikan dari dekat karya sastranya yang selalu menjadi perbincangan banyak kalangan tersebut.
Kendati memiliki nama besar, Mudita tidak jumawa atau sombong terhadap ilmu yang dimilikinya. Dirinya selalu berbagi kepada siapa pun yang datang bertanya terkait sastra, kekawin, atau teknik menulis lontar.
Usianya yang hampir memasuki 90 tahun membuat kesehatannya mulai terganggu. Mudita menceritakan, dirinya sempat menjalani delapan kali operasi
akibat terkena penyakit seperti batu ginjal, prostat, dan katarak. Untungnya, sampai saat ini pengelihatan Mudita masih tetap normal sehingga tetap bisa berkarya menyurat lontar.
Berbagai piagam juga ia pernah dapatkan baik dari pemerjntah kabupaten, provinsi, maupun dari konjen Jepang yang dipajang didinding rumahnya.
Ditanya terkait teknik menulis aksara Bali di daun lontar, dirinya menyebut harus fokus terhadap ujung pengrupak (alat tulis lontar) dan memperhatikan jarak dan jenis tulisan yang digunakan.
“Ada beberapa jenis atau motif tulisan yang digunakan dalam nyurat lontar yaitu ngetumbah atau motif tulisan yang bulat, ngacang ranti atau motif tulisan memanjang. Dan yang paling bagus digunakan yaitu ngetumbah,” jelasnya.
Dibulan Oktober mendatang, dirinya menututurkan akan mendapat penghargaan di Jakarta. Informasi tersebut ia dapatkan dari dinas kebudayaan yang menyampaikan kerumahnya bahwa dirinya akan mendapat pengahargaan. Kepada pemerintah, Mudita berharap agar tetap memperhatikan penekun sastra baik guru-guru maupun generasi penerus agar diperhatikan sehingga warisan budaya tetap terjaga dan lestari hingga turun temurun. (bud/bas/ bpn/tim)